Gue baru balik
lagi ke bekasi setelah du bualan pulang ke kampong gue, Bayah. Gue pulang ke
bayah karna Setelah gue sadari seluruh waktu yang gue habisin dibekasi hanya
sia-sia. Proyek skripsi yang gue kerjain berjalan sangat alot dan lambat. Gue nggak
semangat untuk hal ini. Ada sesuatu yang membuat gue nggak bisa focus. Gue juga
seakan sulit untuk memahami teori-teori tentang skripsi gue. Seolah-olah
kebodohan menyerbu otak gue dan mengendalikannya. Ketika gue berusaha lebih keraslagi
, gue menemui jalan buntu; laptop gue mati. Gue putus asa. Kemudian gue
memutuskan untuk pulang.
Di kampung, gue
juga dalam tekanan. Nyokap bokap gue nggak habis pikir, gimana bisa gue belum
juga bisa menyelesaikan skripsi gue yang udah setahun lebih gue kerjain. Selama ini mereka selalu mendukung gue, ngasih
semangat, motivasi, dan biaya. Tapi semuanya nihil. Akhirnya mereka mencium
aroma keputus asaan gue. Nyokap gue bilang, berapa harga sebuah skripsi?, tiga
juta, atau lima juta?, dia sanggup bayarin. Asal gue lulus.
Gue nggak bisa
terima dengan hal itu. Gue merasa dipecundangi. Gue masih sanggup bikin skripsi
sendiri, kenapa harus bayar orang?, gue nggak sebodoh itu. Lagian gue nggak
tega nyokap gue sampe ngeluarin biaya segitu besar Cuma buat skripsi. Gue bilang
sama nyokap gue bakal balik lagi ke bekasi, gue beresin skripsi gue.
Dan sesampainya
gue dibekasi, gue langsung fotokopi kuestioner untuk dibagikan ke responden gue
di dinas social. Sebenarnya kuestioner itu masih belum sempurna, tapi gue nggak
peduli lagi. Besoknya, gue ke dinsos dan nyebarin kuestioner. Ternyata hari itu
mereka mau pada rapat. Akhirnya gue Cuma bisa nyerahin kuestioner nya ke kabag
umum, ibu Nurhayati. Gue buat janji, besok gue ngambi lagi kuestionernya. Dia pun menyetujui.
Pulang dari
dinsos, gue mampir dulu di tukang ketoprak seberang kampus. Dulu disini gue dan
temen-temen sering makan bareng. Ngobrol, becanda, ketawa-tawa. Sekarang mereka
udah pada lulus. Dari sini gue pandangi keseberang jalan. Gerbang kampus yang
begitu besar, terbuka dengan lebar. Lima tahun yang lalu gue masuk kesana untuk
pertama kalinya dan sampai sekarang, lima tahun berlalu, gue masih terperangkap
didalamnya, gue kesulitan untuk keluar dari sana. Melepaskan diri dari belenggu
ilmu pengetahuan.
Banyak yang
berubah dari wajah kota ini. Dari orang-orang yang ada disini. ya, semuanya
berubah. Semua orang berubah, bergerak, melaju, berlari, mengejar tujuannya. Meraih
impiannya. Menggapai cita-citanya. Tapi gue?, gue Cuma bisa diam, menyaksikan
semua pertunjukan itu berlangsung dihadapan gue. Apa yang harus gue kejar, gue
raih, gue gapai. Semuanya udah hilang. Gue Cuma pengen ngasih secuil
kebahagiaan buat orang tua gue.
Mungkin tiada lagi
seberkas cahaya di ujung terowongan gelap, sunyi, dan dingin ini. Tapi gue
masih mencoba menyalakan cahaya dengan segenap tenaga yang tersisa, dan mencoba
mencari jalan keluar dari sana. Insya Allah..