Mahasiswa, dimulai dari peristiwa di bulan Mei 1998, dimata sebagian masyarakat, terstigmakan sebagai biang kemacetan atau mungkin kerusuhan. Namun, saya anggap itu hanya dipandang dari pandangan permukaan masyarakat. Periode reformasi, hampir tiap hari kita menyaksikan demontrasi yang dilakukan oleh mahasiswa di pelbagai media masa.
Aksi
demontrasi yang dilakukan oleh mahasiswa pun tidak boleh dilihat permukaannya
saja. Karena jika kita melihatnya pada permukaan maka yang akan timbul adalah
seperti yang disebutkan diatas. Pikiran positif saya, aksi yang dilakukan oleh
mahasiswa itu adalah petanda bahwa dalam aksi yang dilakukan oleh mahasiswa
adalah berdasarkan pengkajian atau bahkan penelitian yang baik dan melakukan
pembelaan atas nasib buruk atau penderitaan yang dialami oleh masyarakat. Jadi,
disini dapat dilihat bahwa mahasiswa adalah sosok intelektual penyambung lidah
rakyat! Ini juga dapat berarti bahwa aktivitas mahasiswa berlandaskan pada
kesatuan antara ide yang kokoh dan gerak yang praktis-efektif. Mungkin, inilah
yang dimaksudkan dengan ideologi mahasiswa?
Mahasiswa, oh
Mahasiswa.
Kehidupan
dunia semakin mengarahkan manusia untuk memenuhi hasratnya tanpa batas, tak
terkecuali mahasiswa. Dalam kondisi atau kehidupan mahasiswa (di UPI
khususnya), masyarakat begitu banyak mendapat tawaran untuk memenuhi
hasrat yang hadir dan berganti begitu cepat, baik yang berupa materi
kongkrit ataupun hanya sesuatu berupa imajinasi yang dapat memenuhi kepuasan
batin manusia dan tanpa kedalaman makna. Konser musik lebih ramai dibandingkan
dengan pengkajian atau forum diskusi. Fetisisme pun menjangkit paradigma
mahasiswanya, mereka berlomba-lomba mendapatkan nilai bagus tanpa mampu
bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya dan pengaplikasian nilainya itu
dalam lingkunganya, seminar-seminar ramai dikunjungi untuk mendapatkan
sertifikatnya.
Banalitas
pun merengguh ranah politik mahasiswa. Banalitas politik mahasiswa telah
menciptakan ruang-ruang publik politik mahasiswa yang dipenuhi oleh segala
sesuatu yang bersifat permukaan, dangkal yang tidak konstruktif bagi pendidikan
politik mahasiswa. Pengambilan keputusan dalam forum-forum musyawarah mahasiswa
hanya untuk (ditingkat universitas, jika di Himas belum mengarah kesana)
memenangkan kepentingan sebagai kelompok mahasiswa, hanya mengdandalkan
kuantitas bukan kualitas. Aktifitas pergerakan mahasiswa pun terpaku kepada
metode yang laiknya panggung pertunjukkan, tanpa dilihat atau direfleksikan
efektif ataupun tidaknya.
Budaya di kampus pun menyentuh aspek
banalitas. Ruang-ruang kampus tidak ubahnya seperti yang dikatakan oleh Yasraf
Amir Piliang sebagai shop display. Disatu sisi mahasiswa didalamnya lebih
senang menampilkan gaya bicara, gaya
pakaian (mahasiswa tidak ubahnya dengan patung-patung di toko pakaian yang
mempublikasikan model pakaian yang sedang popular), gaya handphone ketimbang mengejar pengetahuan
dan mengaplikasikannya. Sedangkan di pihak lain, tenggelam dalam mengejar
tugas, nilai, dan kelulusan, tetapi tidak punya waktu dan keinginan untuk
bersosialisasi dan bergaul di dalam kehidupan nyata (sosial kampus, politik
kampus ataupun bahkan spiritual).
Perjuangan
yang dilakukan dalam memperjuangkan nasib rakyat dan pendidikan pun hanya
menjadi penanda tanpa refleksi petanda dan disikapi. Berkata memperjuangkan
nasib rakyat tetapi masih bergaya hidup hedon. Membela pendidikan tetapi
sekaligus tidak menghargai pendidikan, misalnya datang sangat telambat ketika
perkuliahan, suka berkelahi dan mengandalkan pembawaan hewaaniah (otot, jumlah
masa, pengumbar hasrat dalam gaya
hidup) tanpa mengandalkan pembawaan manusiawi (nalar).
Lingkungan
mahasiswa tidak ubahnya sebuah tempat isolasi, di satu pihak, untuk mencari
nilai, gelar dan kelulusan; di pihak lain kepuasaan, keterpesonaan dan
kesenangan, dan tidak punya waktu lagi untuk mengembangkan aspek-aspek
kemanusiaan lainnya: intelektualitas, produktivitas, sosialitas. Entah disadari
atau tidak oleh pelakunya. Di dalam mengonsumsi pengetahuan dan berbagai gaya hidup, ia menjadi
mayoritas yang diam (the silent majorities), yang hanya dapat menyerap segala
sesuatu, tanpa mampu menginternalisasikan dan memaknainya.
Re-definisi
Mahasiswa
Kata
orang, mahasiswa didefinisikan sebagai pelajar yang menempuh pendidikan di
perguruan tinggi. Unsur diferensia dari definisi ini terletak pada jenjang
pendidikan di perguruan tinggi. Jikapun ada pembeda yang lain pun hanya pada
tugas-tugas pelajaran atau mata kuliah yang lebih banyak dari pada ketika di
sekolah dasar atau menengah dan satu lagi yakni kebebasan yang dimiliki
olehnya. Kebebasan ini mendorong lahirnya budaya banalitas dikampus. Budaya
banalitas, pengumbar hasrat (terutama banalitas budaya) mengesampingkan
penalaran dan pemaknaan yang dalam. Mahasiswa yang pada umumnya tinggal
berjauhan dengan orang tuanya, membuat pengontrolan atas aktifitas mahasiswa
berkurang atau bahkan tidak ada. Disini mahasiswa bisa saja dapat seperti
seorang kerbau liar yang terlepas dari kandangnya. Pengumbaran hasrat yang
miskin makna pun susah dikendalikan.
Berbagai
macam teori yang didapatkan didalam perkuliahan hanya diresap tanpa dapat
direfleksikan, dimaknai dan disikapi. Pemaknaan itupun dilakukan hanya ketika
mendapatkan intruksi dari dosen, tugas misalnya. Jadi, teori-teori yang didapat
hanyalah pengetahuan an sich, bahkan mahasiswa lebih mudah (meminjam istilah
Foucault) didisiplinkan (misalnya oleh senior, dosen)
Definisi mahasiswa harus diubah atau didefinisikan kembali (re-definisi). Mahasiswa haruslah didefinisikan sebagai pelajar yang menempuh pendidikan perguruan tinggi dan memiliki kesadaran. Kesadaran disini sangatlah penting. Kesadaran disini ditempatkan sebagai bagaimana mahasiswa tadi memperlakukan obyek yang telah dipahami selama menempuh pendidikan, terlebih untuk senjata atau alat pergerakan mahasiswa. Dengan demikian, tepatlah pendapat yang mengatakan bahwa mahasiswa dalam menyikapi segala sesuatu tidak dan bukan atas dasar solidaritas sesama mahasiswa, penghormatan pada senior yang kharismatis-feodalistik, dan keterpanggilan emosional tapi minim bingkai rasionalitas.
Definisi mahasiswa harus diubah atau didefinisikan kembali (re-definisi). Mahasiswa haruslah didefinisikan sebagai pelajar yang menempuh pendidikan perguruan tinggi dan memiliki kesadaran. Kesadaran disini sangatlah penting. Kesadaran disini ditempatkan sebagai bagaimana mahasiswa tadi memperlakukan obyek yang telah dipahami selama menempuh pendidikan, terlebih untuk senjata atau alat pergerakan mahasiswa. Dengan demikian, tepatlah pendapat yang mengatakan bahwa mahasiswa dalam menyikapi segala sesuatu tidak dan bukan atas dasar solidaritas sesama mahasiswa, penghormatan pada senior yang kharismatis-feodalistik, dan keterpanggilan emosional tapi minim bingkai rasionalitas.
Urgensi Kaderisasi untuk Mewujudkan Tri Dharma PT
Kaderisasi
adalah sebuah transformasi nilai-nilai dan sebuah proses pengoptimalan
potensi-potensi manusia. Jadi, kaderisasi disini identik dengan pendidikan.
Jika hendak membahas mengenai urgensi kaderisasi maka yang akan timbul dalam
benak ialah mengenai kondisi-kondisi yang membuat kaderisasi memiliki arti
penting didalamnya. Jadi disini perlu rumuskan terlebih dahulu tujuan atau
harapan dan apa saja yang terjadi di lingkungan mahasiswa (khususnya anggota
Himas).
Di
pembahasan sebelumnya telah dibahas mengenai permasalahan yang “menjangkit”
mahasiswa. Permasalahan yang “menjangkit” mahasiswa ialah seperti; pemuasan
hasrat yang penuh kedangkalan, fetisisme nilai; dalam ranah politik mahasiswa,
mahasiswa lebih mementingkan kepentingan dibandingkan proses pengambilan
keputusan, mitos gerakan; dalam bidang budaya kampus, mahasiswa terjerembab
kedalam berbagai gaya yang miskin makna dan dilain pihak sibuk dalam mencari
pengetahuan, nilai dan tak mampu lagi melakukan kritik, refleksi dan penyikapan
atas semuanya dan ketidak terhubungan antara perjuangan dan gaya hidupnya.
Di
lain pihak mahasiswa yang merupakan bagian dari lingkungan kampus atau
perguruan tinggi memiliki tugas yang cukup berat, yakni mewujudkan tri dharma
perguruan tinggi (pendidikan, penelitian dan pelayanan atau pengabdian pada
masyarakat). Tri dharma perguruan tinggi tidak akan mungkin terwujudkan jika
unsur-unsur dehumanisasi atau permasalahan yang telah disebutkan diatas tetap
menjangkit mahasiswanya (dalam scope kecil) dan seluruh unsur didalamnya (dalam
scope luas). Jadi, kaderisasi (sebagai proses) memiliki tugas atau tujuan
sebagai proses humanisasi atau pemanusiaan dengan cara transofmasi nilai-nilai
agar tri dharma perguruan tinggi dapat terwujud. Pemanusiaan manusia disini
dimaksudkan sebagai sebuah proses pentrasformasian nilai-nilai yang membuat
manusia (dalam hal ini mahasiswa) agar mampu meningkatkan potensi yang
dimilikinya (spiritual, intelektual dan moral). Jadi dengan sendirinya, dalam
kaderisasi harus terdapat sebuah persiapan mahasiswa agar mampu beradaptasi dan
berintegrasi melalui konsientisasi (Proses dimana manusia mendapatkan kesadaran
yang terus semakin mendalam tentang realitas kultural yang melingkupi hidupnya
dan akan kemampuannya untuk merubah realitas itu) dalam ranah pembebasan
manusia (maksudnya ialah pembebasan dari dehumanisasi, dalam hal ini
pendidikan), penelitian (berfikir ilmiah) dan pengabdian pada masyarakat.
Selain
mempersiapkan mahasiswa dalam mewujudkan tri dharma perguruan tinggi, dalam
kegiatan kaderisasi diperlukan sebuah kegiatan yang mencerminkan tri dharma
perguruan tinggi. Konsekuensinya ialah dalam kaderisasi harus terdapat berbagai
metode yang mampu merepresentasikan unsur-unsur tri dharma perguruan tinggi.
Wallahu A’lam Bishshawwâb
Disuntig dari berbagai sumber.
0 komentar:
Posting Komentar
please your comment here