Selasa, 17 Juli 2012

Peran Mahasiswa di Perguruan Tinggi



Mahasiswa, dimulai dari peristiwa di bulan Mei 1998, dimata sebagian masyarakat, terstigmakan sebagai biang kemacetan atau mungkin kerusuhan. Namun, saya anggap itu hanya dipandang dari pandangan permukaan masyarakat. Periode reformasi, hampir tiap hari kita menyaksikan demontrasi yang dilakukan oleh mahasiswa di pelbagai media masa.
Aksi demontrasi yang dilakukan oleh mahasiswa pun tidak boleh dilihat permukaannya saja. Karena jika kita melihatnya pada permukaan maka yang akan timbul adalah seperti yang disebutkan diatas. Pikiran positif saya, aksi yang dilakukan oleh mahasiswa itu adalah petanda bahwa dalam aksi yang dilakukan oleh mahasiswa adalah berdasarkan pengkajian atau bahkan penelitian yang baik dan melakukan pembelaan atas nasib buruk atau penderitaan yang dialami oleh masyarakat. Jadi, disini dapat dilihat bahwa mahasiswa adalah sosok intelektual penyambung lidah rakyat! Ini juga dapat berarti bahwa aktivitas mahasiswa berlandaskan pada kesatuan antara ide yang kokoh dan gerak yang praktis-efektif. Mungkin, inilah yang dimaksudkan dengan ideologi mahasiswa?
Mahasiswa, oh Mahasiswa.
Kehidupan dunia semakin mengarahkan manusia untuk memenuhi hasratnya tanpa batas, tak terkecuali mahasiswa. Dalam kondisi atau kehidupan mahasiswa (di UPI khususnya), masyarakat begitu banyak mendapat tawaran untuk memenuhi hasrat  yang hadir dan berganti begitu cepat, baik yang berupa materi kongkrit ataupun hanya sesuatu berupa imajinasi yang dapat memenuhi kepuasan batin manusia dan tanpa kedalaman makna. Konser musik lebih ramai dibandingkan dengan pengkajian atau forum diskusi. Fetisisme pun menjangkit paradigma mahasiswanya, mereka berlomba-lomba mendapatkan nilai bagus tanpa mampu bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya dan pengaplikasian nilainya itu dalam lingkunganya, seminar-seminar ramai dikunjungi untuk mendapatkan sertifikatnya.
Banalitas pun merengguh ranah politik mahasiswa. Banalitas politik mahasiswa telah menciptakan ruang-ruang publik politik mahasiswa yang dipenuhi oleh segala sesuatu yang bersifat permukaan, dangkal yang tidak konstruktif bagi pendidikan politik mahasiswa. Pengambilan keputusan dalam forum-forum musyawarah mahasiswa hanya untuk (ditingkat universitas, jika di Himas belum mengarah kesana) memenangkan kepentingan sebagai kelompok mahasiswa, hanya mengdandalkan kuantitas bukan kualitas. Aktifitas pergerakan mahasiswa pun terpaku kepada metode yang laiknya panggung pertunjukkan, tanpa dilihat atau direfleksikan efektif ataupun tidaknya.
 Budaya di kampus pun menyentuh aspek banalitas. Ruang-ruang kampus tidak ubahnya seperti yang dikatakan oleh Yasraf Amir Piliang sebagai shop display. Disatu sisi mahasiswa didalamnya lebih senang menampilkan gaya bicara, gaya pakaian (mahasiswa tidak ubahnya dengan patung-patung di toko pakaian yang mempublikasikan model pakaian yang sedang popular), gaya handphone ketimbang mengejar pengetahuan dan mengaplikasikannya. Sedangkan di pihak lain, tenggelam dalam mengejar tugas, nilai, dan kelulusan, tetapi tidak punya waktu dan keinginan untuk bersosialisasi dan bergaul di dalam kehidupan nyata (sosial kampus, politik kampus ataupun bahkan spiritual).
 Perjuangan yang dilakukan dalam memperjuangkan nasib rakyat dan pendidikan pun hanya menjadi penanda tanpa refleksi petanda dan disikapi. Berkata memperjuangkan nasib rakyat tetapi masih bergaya hidup hedon. Membela pendidikan tetapi sekaligus tidak menghargai pendidikan, misalnya datang sangat telambat ketika perkuliahan, suka berkelahi dan mengandalkan pembawaan hewaaniah (otot, jumlah masa, pengumbar hasrat dalam gaya hidup) tanpa mengandalkan pembawaan manusiawi (nalar).
Lingkungan mahasiswa tidak ubahnya sebuah tempat isolasi, di satu pihak, untuk mencari nilai, gelar dan kelulusan; di pihak lain kepuasaan, keterpesonaan dan kesenangan, dan tidak punya waktu lagi untuk mengembangkan aspek-aspek kemanusiaan lainnya: intelektualitas, produktivitas, sosialitas. Entah disadari atau tidak oleh pelakunya. Di dalam mengonsumsi pengetahuan dan berbagai gaya hidup, ia menjadi mayoritas yang diam (the silent majorities), yang hanya dapat menyerap segala sesuatu, tanpa mampu menginternalisasikan dan memaknainya.

Re-definisi Mahasiswa
Kata orang, mahasiswa didefinisikan sebagai pelajar yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Unsur diferensia dari definisi ini terletak pada jenjang pendidikan di perguruan tinggi. Jikapun ada pembeda yang lain pun hanya pada tugas-tugas pelajaran atau mata kuliah yang lebih banyak dari pada ketika di sekolah dasar atau menengah dan satu lagi yakni kebebasan yang dimiliki olehnya. Kebebasan ini mendorong lahirnya budaya banalitas dikampus. Budaya banalitas, pengumbar hasrat (terutama banalitas budaya) mengesampingkan penalaran dan pemaknaan yang dalam. Mahasiswa yang pada umumnya tinggal berjauhan dengan orang tuanya, membuat pengontrolan atas aktifitas mahasiswa berkurang atau bahkan tidak ada. Disini mahasiswa bisa saja dapat seperti seorang kerbau liar yang terlepas dari kandangnya. Pengumbaran hasrat yang miskin makna pun susah dikendalikan.
Berbagai macam teori yang didapatkan didalam perkuliahan hanya diresap tanpa dapat direfleksikan, dimaknai dan disikapi. Pemaknaan itupun dilakukan hanya ketika mendapatkan intruksi dari dosen, tugas misalnya. Jadi, teori-teori yang didapat hanyalah pengetahuan an sich, bahkan mahasiswa lebih mudah (meminjam istilah Foucault) didisiplinkan (misalnya oleh senior, dosen)
Definisi mahasiswa harus diubah atau didefinisikan kembali (re-definisi). Mahasiswa haruslah didefinisikan sebagai pelajar yang menempuh pendidikan perguruan tinggi dan memiliki kesadaran. Kesadaran disini sangatlah penting. Kesadaran disini ditempatkan sebagai bagaimana mahasiswa tadi memperlakukan obyek yang telah dipahami selama menempuh pendidikan, terlebih untuk senjata atau alat pergerakan mahasiswa. Dengan demikian, tepatlah pendapat yang mengatakan  bahwa  mahasiswa dalam menyikapi segala sesuatu tidak dan bukan atas dasar solidaritas sesama mahasiswa, penghormatan pada senior yang kharismatis-feodalistik, dan keterpanggilan emosional tapi minim bingkai rasionalitas.

Urgensi Kaderisasi untuk Mewujudkan Tri Dharma PT
Kaderisasi adalah sebuah transformasi nilai-nilai dan sebuah proses pengoptimalan potensi-potensi manusia. Jadi, kaderisasi disini identik dengan pendidikan. Jika hendak membahas mengenai urgensi kaderisasi maka yang akan timbul dalam benak ialah mengenai kondisi-kondisi yang membuat kaderisasi memiliki arti penting didalamnya. Jadi disini perlu rumuskan terlebih dahulu tujuan atau harapan dan apa saja yang terjadi di lingkungan mahasiswa (khususnya anggota Himas).
Di pembahasan sebelumnya telah dibahas mengenai permasalahan yang “menjangkit” mahasiswa. Permasalahan yang “menjangkit” mahasiswa ialah seperti; pemuasan hasrat yang penuh kedangkalan, fetisisme nilai; dalam ranah politik mahasiswa, mahasiswa lebih mementingkan kepentingan dibandingkan proses pengambilan keputusan, mitos gerakan; dalam bidang budaya kampus, mahasiswa terjerembab kedalam berbagai gaya yang miskin makna dan dilain pihak sibuk dalam mencari pengetahuan, nilai dan tak mampu lagi melakukan kritik, refleksi dan penyikapan atas semuanya dan ketidak terhubungan antara perjuangan dan gaya hidupnya.
Di lain pihak mahasiswa yang merupakan bagian dari lingkungan kampus atau perguruan tinggi memiliki tugas yang cukup berat, yakni mewujudkan tri dharma perguruan tinggi (pendidikan, penelitian dan pelayanan atau pengabdian pada masyarakat). Tri dharma perguruan tinggi tidak akan mungkin terwujudkan jika unsur-unsur dehumanisasi atau permasalahan yang telah disebutkan diatas tetap menjangkit mahasiswanya (dalam scope kecil) dan seluruh unsur didalamnya (dalam scope luas). Jadi, kaderisasi (sebagai proses) memiliki tugas atau tujuan sebagai proses humanisasi atau pemanusiaan dengan cara transofmasi nilai-nilai agar tri dharma perguruan tinggi dapat terwujud. Pemanusiaan manusia disini dimaksudkan sebagai sebuah proses pentrasformasian nilai-nilai yang membuat manusia (dalam hal ini mahasiswa) agar mampu meningkatkan potensi yang dimilikinya (spiritual, intelektual dan moral). Jadi dengan sendirinya, dalam kaderisasi harus terdapat sebuah persiapan mahasiswa agar mampu beradaptasi dan berintegrasi melalui konsientisasi (Proses dimana manusia mendapatkan kesadaran yang terus semakin mendalam tentang realitas kultural yang melingkupi hidupnya dan akan kemampuannya untuk merubah realitas itu)  dalam ranah pembebasan manusia (maksudnya ialah pembebasan dari dehumanisasi, dalam hal ini pendidikan), penelitian (berfikir ilmiah) dan pengabdian pada masyarakat.


Selain mempersiapkan mahasiswa dalam mewujudkan tri dharma perguruan tinggi, dalam kegiatan kaderisasi diperlukan sebuah kegiatan yang mencerminkan tri dharma perguruan tinggi. Konsekuensinya ialah dalam kaderisasi harus terdapat berbagai metode yang mampu merepresentasikan unsur-unsur tri dharma perguruan tinggi.

Wallahu A’lam Bishshawwâb

Disuntig dari berbagai sumber.

0 komentar:

Posting Komentar

please your comment here